Sunday, July 17, 2016

CONTOH MAKALAH KARYA SASTRA DAN SISTEM SASTRA


BAB I
      PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Karya sastra dan sistem sastra tujuan awal dan akhir sastrai ini adalah menentukan ciri khasnya adalah ketegangan antara invension dan convention, antara sistem konvensi yang mengikatnya dan sekaligus yang diatasinya.  Karya sastra itu haruslah didasari dengan pengetahuan, pemikran yang yang melatarbelakangi karya satra tersebut dan dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasa.
B. RUMUSAN MASALAH 
             Penulis merumuskan masalah makalah  ini adalah ” untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut tentang:
1.      Bahasa sebagai sistem semiotik primer
2.      Karya sastra dan konvensasi budaya
3.      Konvensi sastra
4.      Masalah kompetensi kesastraan, dengan contoh konvensi puisi lirik (Culler)
5.      Masalah jenis sastra: teori Aristoteles
6.      Strukturalisme dan masalah jenis sastra
7.      Masalah sistem sastra
8.      Masalah sistem sastra universal
C. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan tujuan makalah, maka tujuan penulisan    makalah ini adalah: untuk mengetahui penjelasan yang akurat tantang rumusan masalah diatas                                                                                              
D. MANFAAT 
   Penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :                                   
1)      Mahasiswa/mahasiswi  penulisan ini dapat memberikan masukan tentang karya sastra dan sistem sastra.
2)      Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar dan pembelajaran.
3)      Sebagai acuan dalam membuat makalah lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN
            Berikut ini adalah penjelasan dari karya sastra dan sistem sastra:
1.    Bahasa sebagai sistem simiotik primer
Menurut rumusan Pratt karya sastra adalah context depedend speech event,
Peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks. sebelum kita berhasil membaca sebuah karya sastra kita harus telah disiapkan secara mental, harus lewat berbagai petunjuk konvesi sosial, bahwa kita menghadapi karya dalam masyarakat kita anggap sastra, digolongkan dalam kategori pemakaian bahasa yang khas.
Bahasa, sebelum dipakai oleh penulis, sudah merupakan sistem tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka, tidak hanya yang mengikat mereka, tidak hanya dalam artian bahwa tanda itu merupakan berian.
Jadi kita semua mempunyai sistem bahasa, yang antara lain merupakan sistem kemaknaan yang berbeda-beda menurut bahasa yang kita pakai sebagai anggota sebuah masyarakat tertentu. Dalam ilmu bahasa modern khususnya Bejamin Lee Whorf mengembangkan ide bahwa pandangan manusia terhadap dunia sekelilingnya dalam artian yang seluas-luasnya ditentukan oleh sistem bahasanya (Whorf 1956). Dalam ilmu sastra modern ide ini antara lain digarap secara sistematik oleh peniliti Rusia Lotman (1972); bahasa disebutnya ein primares modellbildendes system, sistem tanda yang secara primer membentuk model dunnia bagi pemakainya; model itulah pada prinsipnya mewujudkan prinsipnya mewujudkan perlengkapan konseptual manusia untuk penafsiran segala sesuatunya didalam dan diluar dirinya; sistem inilah yang tersedia untuk dan sekaligus mengikat juga seorang sastrawan dan penikmat sastra. Sastra disebut Lotman ein sekundares modellbildende system, sistem tanda sekunder yang membentuk model. Yaitu yang tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa, dan yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam pertentangan dengan sistem bahasa.

2.    Karya sastra dan konvensi budaya
Konvensi dibedakan atas konvensi bahasa dan konvensi sosialinguistik ala Pratt, maupun dari konvensi budaya. Dari segala apa yang dikatakan jelaslah pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai  kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya.
Pemisahan konvensi budaya dari konvensi bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin atau tidak mudah dilaksanakan, oleh karena banyak konvensi budaya telah terkandung dalam sistem bahasa dan konvensi sosio-linguistik serta dalam sistem sastra.
3.    Konvensi sastra 
Istilah konvensi masuk bidang sastra dan ilmu sastra dari dunia hukum, lewat ilmu-ilmu sosial: konvensi mula-mula dianggap lembaga, aturan sosial, sesuatu yang disetujui oleh anggota masyarakat; kemudian masuk bidang sastra lewat orang Romantik dalam abad ke-19, khususnya Madame de Stael; mereka justru sangat kuat menentang konvensi sosial, mau kembali kealam tanpa konvensi yang mengikat secara sosial, jadi konvensi dialami sebagai ikatan, lingkungan yang dari padanya kita harus membebaskan diri. Tetapi betapa kuat kita menantang adanya dan perlunya konvensi, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis dan kreasi, antara tiruan dan ciptaan.
4.    Masalah kompetesi kesastraan, dengan contoh konvensi puisi lirik (Culler)
Dalam ilmu sastra modern (yang disebut strukturalis semiotik) peranan konvensi dalam perwujudan sastra dan karya sastra sangat ditekankan; bukan sebagai sistem yang beku dan ketat, tetapi sistem yang luwes dan penuh dinamika. Konvensi itu sangat berbeda-beda sifatnya; ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan spesifik, dan yang terbatas pada jenis atau golongan karya sastra tertentu.

 Misalnya ada konvensi umum mengenai drama dan lirik, jadi konvensi yang cukup umum sifatnya; ada pula konvensi pantun atau soneta, yang cukup spesifik. Dalam buku Culler (1975) dengan panjang lebar dibicarakan masalah konvensi sebagai dasar pemahaman karya sastra bagi seorang pembaca.
Dan ilmu sastra, puitik justru harus meneliti sistem itu, dengan kutipan dari Roland Barthas: harus mengeksplisitkan “sistem yang mendasari karya yang memungkinkan efek kesastraan”. Melalui kemampuan sistem konvensi itu kita merebut makna karya sastra yang disebut oleh Culler dan kawan-kawan naturalization mengembalikan yang aneh pada yang wajar, “masuk akal”. Culler mulai mengemukakan secara analog dengan Marry Loise Pratt, walaupun latar belakangnya lain sekali bahwa yang menjadikan sebuah tulisan puisi pertama-tama bukanlah ciri-ciri kebahasaannya, melainkan konvensi type of reading, cara membaca yang dipaksakan pada pembaca agar dia memahami puisi lirik sebagai puisi lirik.
Tiga konvensi dasar yang dikemukakan oleh Culler sebagai konvensi dasar lirik modern yaitu:
1.      Jarak dan deiksis: Kata deiktik adalah kata yang referensnya berganti-ganti, tergantung pada   siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Misalnya kata sebagai aku, ini, disini, kemarin dan lain-lain disebut deiktik.
2.      Keseluruhan yang organik: harapan konvensi dan kebulatan makna menentukan kegiatan penafsiran pembaca; juga sajak yang kelihatannya tidak koheren, tidak mempunyai kebulatan makna dicobanya memberi makna.
3.      Tema dan perwujudan: yaitu konvensi significance makna yang relevan (yang sudah tentu erat hubungannya dengan konvensi kedua). Kasus khas dari konvensi ini adalah bahwa puisi seringkali mengambil relevensinya dari makna sebagai “perenungan atau pengamatan mengenai masalah puisi”.

5.    Masalah jenis sastra: teori Aritoteles
Aristoteles, yang didalam tulisannya yang terkenal dan berjudul Poetika (misalnya Ancient Literary Cristicism 1972: 85-132) meletakkan dasar untuk studi jenis sastra. Aristoteles insaf bahwa karya sastra dapat digolongkan menurut berbagai kristeria; sistem yang disusunnya secara garis besar adalah sebagai berikut: ada tiga macam kriteria yang dapat dijadikan patokan. Dalam penerapan kriteria tersebut masing-masing, terjadi berbagai kemungkinan untuk pembagian karya sastra menurut jenisnya; kriteria utama menurut Aristoteles:
a.       Sarana perwujudannya
1.      Prosa
2.      Puisi:
a.       Karya yang memanfaatkan hanya satu mantra (metrum) saja         (misalnya epik, contoh indonesia: syair).
b.      Karya memanfaatkan lebih dari satu matra (misalnya tragedi, kekawin).
b.      Objek perwujudan
Yang menjadi objek pada prinsipnya selalu manusia, tetapi ada tiga kemungkinan:
1.      Manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik Homeros; cerita Panji
2.      Manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi; lenong;
3.      Manusia rekaan sama dengan manusia nyata:
c.       Ragam perwujudan
1.      Teks sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh (dialog): epik;
2.      Yang berbicara si aku lirik penyair: lirik;
3.      Yang berbicara para tokoh saja: lirik;
6.    Strukturalisme dan masalah jenis sastra
Menurut pendekatan ini karya sastra merupakan aktualisasi sebuah perangkat konvensi, aktualisasi yang sekaligus memenuhi harapan pembaca dan

melanggarkannya karena inovasi; konvensi sastra merupakan sistem hirarki, yang didalamnya justru konvensi jenis sastra, sebagai sistem bagian merupakan lapisan yang penting. Menurut rumusan Scholes jenis sastra adalah mata rantai yang menghubungkan karya sastra individual  dengan kemestaan sastra).
Kutipan dari Culler (1975:147): pada asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan, dan demikian dimungkinkan sekaligus penyesuain dengan dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Sistem konvensi yang seperti ini tidak dapat kita pastikan hanya secara induktif saja, sebab pasti ada prinsip-prinsip umum yang berlaku didalamnya; tetapi tidak mungkin pula ditentukan hanya secara teori deduktif saja; jadi ada konsekuensi untuk peneliti sastra. Dengan rumusan Tadorov, yang dikutip oleh Scholes “batasan jenis sastra oleh karena itu merupakan suatu kian kemari yang terus-menerus antara deskripsi fakta-fakta dan abstraksi teori”.  Sedangkan menurut  Guillen (1971: 109) jenis sastra adalah undangan atau tantangan untuk melahirkan wujud.
Hal ini berarti konvensi jenis sastra tidak pernah dipenuhi seratus persen: selalu ada kelonggaran, kebebasan tententu. Tadorov malahan mengatakan bahwa setiap karya agung per definisi menciptakan janis karya sastranya sendiri. Setiap karya sastra yang agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dua norma: norma jenis yang dilampauinya, yang menguasai sastra sebelumnya; dan norma jenis yang diciptakannya.
Dari yang dikatakan diatas jelas pula bahwa dalam penelitian sistem jenis sastra tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik; karya sastra selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya.
7.    Masalah sistem satra
Tentang sistem sastra dapat dikatakan sebagai berikut:
a.       Sistem itu tak dapat tidak bersifat longgar, lincah; oleh karena karya sastra individual justru ditandai oleh penyimpangan, pelanggaran terhadap norma-norma, maka dengan sendiri sistem itu.
b.      Sebagai akibatnya, perbedaan antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa, untuk sistem sastra tidak berlaku dengan kejelasan yang sama.
Kesimpulannya jelas; sebuah sastra, dalam menifestasi konkrit dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak menunjukkan unsur-unsur sistematikany. Tetapi mendeskripsikan secara konkrit sistem sastra seluruhnya dengan segala ketegangannya, dalam hirarkinya yang ruwet dan tergantung dari sekian banyak faktor, merupakan tugas yang sulit sekali dan yang pasti tidak pernah berhasil sepenuhnya, oleh karena perdefinisi karya sastra luput dari keketatan dan kebekuan sistematik yang menyeluruh.
8.    Masalah sistem sastra universal
Pembianaan sistem sastra universal yang lain adalah ahli sastra Canada, Northrop Frye, yang sangat berpengaruh dalam teori dan pendidikan sastra di Amerika Serikat. Pangkal pikirannya ialah: sastra bukanlah mustahil hanya sejumlah karya saja yang kebetulan atau sembarangan, yang tidak berkaitan satu sama lain. Metode yangh dipakai Frye untuk mengembangkan sistem sastra yang menyeluruh adalah gabungan pendekatan induktif dan deduktif. Ringkasan hasil penelitian Frye seperti terkandung dalam bukunya Anatomy of Criticims; hanya dapat dikatakan bahwa menurut Frye ada empat jenis sastra yang major utama: comedy, romance, tragedy dan satire, yang membayangkan mitos arketip.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan 
            Kesimpulannya dapat diringkaskan sebagai berikut: kalau kita kembali ke karya sastra, tujuan awal dan akhir ilmu sastra, jelaslah yang menentukan ciri khasnya adalah ketegangan antara inovention dan convention, antara sistem konvensi yang mengikatnya dan sekaligus diatasinya. Peneliti sastra yang tidak memperhatikan ketegangan itu tidak mungkin memahami karya sastra itu secara tepat: penelitiannya secara terisolasi selalu menghilangkan sesuatu yang esensial dari karya sastra ; dan hal itu berkonsekuensi langsung untuk penelitian sastra. Dalam hubungan ini perlu pula diperhatikan bahwa hubungan antara konvensi dan karya individual bukan suatu berian yang tetap; dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup besar antara masyarakat –masyarakat tertentu; khususnya dalam masyarakat tradisional barangkali umumnya konvensi lebih mengikat, pencipta karya sastra lebih patuh pada konvensi, sedangkan dalam kebudayaan modern justru penyimpangan, pembaharuan yang dianggap penting sehingga malahan dikatakan bahwa hanya karya sastra yang jelas-jelas merombak konvensi dapat bernilai.
B.  Saran
Sebaiknya karya sastra maupun sistem sastra yang ada dinegara kita ini diharus diperhatikan lagi, karena menurut saya karya sastra yang dimiliki oleh orang Indonesia ini bagus-bagus. Dan sebaiknya juga masyarakat setempat harus bangga dengan karya yang dimiliki oleh negaranya sendiri




1 comment: