Tuesday, July 12, 2016

KONSEP BUDAYA ORGANISASI



Budaya organisasi adalah faktor yang menentukan karakteristik suatu organisasi. Kajian budaya organisasi memiliki nilai signifikan dalam meneliti kinerja sebuah organisasi. Kajian budaya organisasi menunjukkan bagaimana suatu budaya berkembang di dalam organisasi, terinternalisasi di dalam perilaku para anggota organisasi, dan memiliki hubungan dengan kinerja keseluruhan organisasi termaksud. Budaya organisasi satu dengan organisasi lain relatif berbeda, bergantung pada karakteristik organisasi perusahaan. Dalam hal ini, organisasi profit memiliki perbedaan budaya dengan organisasi non profit atau, organisasi pemerintah berbeda budayanya dengan organisasi swasta.
Definisi awal budaya organisasi disampaikan oleh Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (1982) sebagai  : “the integrated pattern of human behavior that included thought, speech, action, and artifacts and depends on man’s capacity for learning and transmitting knowledge to succeeding generation” (dalam Ndraha, 2006:75).
Glaser dalam (Kreitner dan Kinicki, 2005:81) menyatakan bahwa budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual dan mitos-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur dan trading.
Schein (1996) mendefinisikan budaya organisasi sebagai wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersenbut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkunmgannya yang beraneka ragam. Dari definisi ini, menyoroti tiga karakteristik budaya organisasi yang penting, yaitu pertama : budaya organisasi diberikan kepada para karyawan baru melalui proses sosialiasasi. Kedua, budaya organisasi mempengaruhi perilaku di tempat kerja, dan ketiga, budaya organisasi berlaku pada tingkat yang berbeda (Kreiner dan Kinicki, 2005). Lebih lanjut Schein mengemukakan budaya organisasi Schein menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi dasar yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi. Serangkaian asumsi dasar dapat dipelajari oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi mampu bertindak sebagai pemberi solusi atas masalah organisasi, berperan selaku adaptor terhadap faktor-faktor yang berkembang di luar organisasi, serta dalam melakukan integrasi internalnya dari para anggotanya. adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.
Sejumlah peneliti telah melakukan kajian seputar konsep budaya organisasi. Walter R. Freytag mendefinikan budaya organisasi sebagai “ ... a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds organizational members together and prescribes appropriate patters of behavior.”[2]
Freytag menitikberatkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ... the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations that organize and integrate a group of people who work together.”[3]
Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi Sejumlah peneliti telah melakukan kajian seputar konsep budaya organisasi. Walter R. Freytag mendefinikan budaya organisasi sebagai “ ... a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds organizational members together and prescribes appropriate patters of behavior.”[2]
Freytag menitikberatkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ... the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations that organize and integrate a group of people who work together.”[3]
Definisi lain, dan ini merupakan definisi dari seorang perintis teori budaya organisasi, diajukan oleh Edgar H. Schein. Schein menyatakan budaya organisasi sebagai “.... a pattern of shared basic assumption that was learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new member as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problem.”[4]
Definisi yang lebih rinci mengenai budaya organisasi diberikan oleh Matt Alvesson, bahwa saat bicara mengenai budaya organisasi, maka“ ... seems to mean talking about the importance for people of symbolism –  of rituals, myths, stories and legends and about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are influenced and shaped by the groups within they live. I will also, however, take organizational culture to include values and assumptions about social reality ...”[5]
Bagi Alvesson, pembicaraan mengenai budaya organisasi sulit dilepaskan dari pembicaraan mengenai pentingnya simbolisme bagi manusia, serta peristiwa, gagasan, dan pengalaman yang dialami serta dibentuk oleh kelompok di mana seseorang beraktivitas. Dalam analogi dengan kajian sosiologi, anggota organisasi berposisi sebagai individu sementara organisasi berposisi sebagai masyarakat. Organisasi membentuk anggota organisasi agar menyesuaikan diri terhadap budaya yang berkembang di dalam organisasi sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut. 
Majken Schultz menyatakan bahwa konsep budaya organisasi merupakan antitesis dari pendekatan-pendekatan organisasi yang bersifat rasionalistik dan mekanistik.[6] Menurut Schultz,“organizational culture focuses on the beliefs, values and meanings used by member of an organization to grasp how the organization’s uniqueness originates, evolves, and operates.”
Ukuran-ukuran seperti keyakinan, nilai, dan makna bukanlah suatu ukuran yang bersifat manifest melainkan laten. Ukuran-ukuran tersebut bersifat kualitatif dan relatif sehingga penelitian budaya suatu organisasi bukanlah hal yang mudah. Masih menurut Schultz, konsep-konsep sebelumnya yang bersifat rasionalitik dan mekanistik cenderung memperlakukan anggota organisasi sebagai alat yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi ataupun sekadar mengkalkulasi perilaku organisasi berdasarkan struktur formal organisasi.  Sebaliknya, budaya organisasi lebih menekankan pada kerangka mendasar dalam mana orang diperlakukan sebagaimana adanya dalam konteks kegiatan pekerjaan dan sosial mereka.
Definisi lain mengenai budaya organisasi diajukan oleh Jan A. Pfister dengan mengkombinasikan defisini budaya organisasi dari Edgar H. Schein, O’Reilly, and Chapman. Pfister mendefinisikan budaya organisasi sebagai:“... a pattern of basic assumptions that a group has invented, discovered or developed in learning to cope with its problems of external adaptation and internal integration, which is represented in a system of shared values defining what is important, and norms, defining appropriate attitudes and behaviors, that guide each individual’s attitude and behaviors.”[7]
Bagi Pfister, budaya organisasi memiliki empat karakteristik yaitu : (1) pemahaman bersama di antara anggota kelompok; (2) interaksi para anggota suatu kelompok; (3) bersifat implisit ataupun eksplisit; dan (4) didasarkan sejarah serta tradisi.[8]  Nilai serta norma yang mengatur perilaku anggota kelompok adalah kata kunci untuk mengamati budaya organisasi. Nilai mengimplikasikan apa yang penting atau dijunjung tinggi oleh suatu organisasi sementara norma merupakan upaya organisasi untuk mengatur perilaku yang diharapkan atas para anggotanya. Dengan pandangan seperti ini, budaya organisasi adalah relatif dari satu organisasi ke organisasi lainnya, bergantung pada nilai dan norma yang dikembangkannya. 
Dalam kajiannya, Joann Keyton turut menyumbangkan definisi budaya organisasi, yang menurutnya adalah “ ... is the set(s) of artifacts, values, and assumptions that emerge from the interactions of organizational member.”[9] Bagi Keyton, artifak, nilai dan asumsi dalam suatu organisasasi merupakan unsur yang tumbuh dari interaksi para anggota organisasi. Faktor manusia menjadi sedemikian penting dalam kajian-kajian mengenai budaya organisasi ini. 
Budaya organisasi bukan merupakan konsep yang mudah diukur. Kim S. Cameron dan Robert E. Quinn bahkan berargumentasi bahwa kurangnya daya tarik budaya organisasi sebagai bahan penelitian adalah akibat sifatnya yang terlampau menekankan pada asumsi, harapan, ingatan kolektif, termasuk apa yang “orang bawa di dalam benak mereka.”[10] Sifat subyektif dari budaya organisasi ini merupakan aspek yang membuatnya kerap sulit diukur. 
Definisi lain dari budaya organisasi diajukan oleh Geert H. Hofstede dalam kajiannya mengenai budaya organisasi di sejumlah negara. Hofstede mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ... the collective programming of the mind that distiguishes the members of one organization from another.”[11] Budaya organisasi merupakan pemrograman pikiran yang bersifat kolektif, dalam mana budaya organisasi ini membedakan anggota (manusia) di satu organisasi dengan organisasi lainnya. Berdasarkan pernyataan Hofstede ini, setiap organisasi pasti mengembang budaya yang berbeda-beda.  
Hingga titik ini, definisi dari budaya organisasi telah cukup jelas, dalam mana keseluruhannya rata-rata menekankan pada konsep “nilai, norma, asumsi, yang berlaku di dalam suatu organisasi yang mengatur perilaku individu dalam berpikir ataupun merasa di dalam organisasi dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan eksternal maupun membangun integrasi internal, dalam mana nilai, norma, dan asumsi tersebut akan disosialisasi dan diinternalisasi kepada anggota-anggota baru organisasi.” 
Menurut Nawawi (2003:283) yang dikutip dari Cushway B dan Lodge D, hubungan budaya dengan budaya organisasi, bahwa “budaya organisasi adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi falsafah utama yang dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam menjalankan atau mengoperasionalkan kegiatan organisasi”. Sedangkan Nawawi (2003, :283) yang dikutip dari Schemerhom, Hurn dan Osborn, mengatakan “budaya organisasi adalah suatu sistem penyebaran keyakinan dan nilai-nilai yang dikembangkan di dalam suatu organisasi sebagai pedoman perilaku anggotanya”.
Tunstal dalam Wirawan (2007) mendefinisikan, budaya organisasi adalah suatu kepercayaan, kebiasaan, nilai, norma perilaku, dan cara melakukan bisnis yang unik bagi setiap organisasi yang mengatur pola aktivitas dan tindakan organisasi, serta melukiskan pola implisit, perilaku, dan emosi yang muncul yang menjadi karakteristik dalam organisasi. Adapun menurut Elridge dan Crombie dalam Wirawan (2007) mendefinisikan, suatu budaya organisasi menunjukan konfigurasi unik dari norma, nilai, kepercayaan, dan cara-cara berperilaku yang memberikan karakteristik cara kelompok dan individu bekerja sama untuk menyelesaikan tugasnya.
Definisi lebih luas, disampaikan oleh Schein (2004) sebagai : “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems?
Kesimpulan
Dari berbagai definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu kepercayaan, nilai, norma perilaku yang diterima dan disosialisasikan secara berkesinambungan sebagai pembentuk karakteristik organisasi dalam menghadapi tantangan / adaptasi eksternal dan integrasi internal dan konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu yang secara mudah dapat diukur akibat ia banyak melibatkan serangkaian variabel laten seperti nilai, norma, dan asumsi. Untuk itu, perlu dilakukan suatu kajian literatur guna mengkaji sistem pelapisan konsep yang inheren di dalam budaya organisasi. 

No comments:

Post a Comment