BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra
dan sistem sastra tujuan awal dan akhir sastrai ini adalah menentukan ciri
khasnya adalah ketegangan antara invension dan convention, antara sistem
konvensi yang mengikatnya dan sekaligus yang diatasinya. Karya sastra itu haruslah didasari dengan
pengetahuan, pemikran yang yang melatarbelakangi karya satra tersebut dan dan
tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasa.
B. RUMUSAN
MASALAH
Penulis merumuskan masalah makalah ini adalah ” untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut tentang:
1.
Bahasa sebagai sistem semiotik primer
2.
Karya sastra dan konvensasi budaya
3.
Konvensi sastra
4.
Masalah kompetensi kesastraan, dengan contoh konvensi puisi lirik (Culler)
5.
Masalah jenis sastra: teori Aristoteles
6.
Strukturalisme dan masalah jenis sastra
7.
Masalah sistem sastra
8.
Masalah sistem sastra universal
C. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan tujuan
makalah, maka tujuan penulisan makalah
ini adalah: untuk mengetahui penjelasan yang akurat tantang rumusan
masalah diatas
D. MANFAAT
Penulisan makalah ini diharapkan
bermanfaat bagi :
1) Mahasiswa/mahasiswi
penulisan ini dapat memberikan masukan tentang
karya sastra
dan sistem sastra.
2) Dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar dan pembelajaran.
3) Sebagai acuan dalam
membuat makalah lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Berikut ini adalah penjelasan dari
karya sastra dan sistem sastra:
1.
Bahasa sebagai sistem simiotik primer
Menurut rumusan Pratt karya sastra adalah context depedend speech event,
Peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks. sebelum kita
berhasil membaca sebuah karya sastra kita harus telah disiapkan secara mental,
harus lewat berbagai petunjuk konvesi sosial, bahwa kita menghadapi karya dalam
masyarakat kita anggap sastra, digolongkan dalam kategori pemakaian bahasa yang
khas.
Bahasa, sebelum dipakai oleh
penulis, sudah merupakan sistem tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti
tertentu, yang secara konvensi disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat,
dan yang mengikat mereka, tidak hanya yang mengikat mereka, tidak hanya dalam
artian bahwa tanda itu merupakan berian.
Jadi kita semua mempunyai sistem
bahasa, yang antara lain merupakan sistem kemaknaan yang berbeda-beda menurut
bahasa yang kita pakai sebagai anggota sebuah masyarakat tertentu. Dalam ilmu
bahasa modern khususnya Bejamin Lee Whorf mengembangkan ide bahwa pandangan
manusia terhadap dunia sekelilingnya dalam artian yang seluas-luasnya
ditentukan oleh sistem bahasanya (Whorf 1956). Dalam ilmu sastra modern ide ini
antara lain digarap secara sistematik oleh peniliti Rusia Lotman (1972); bahasa
disebutnya ein primares modellbildendes
system, sistem tanda yang secara primer membentuk model dunnia bagi
pemakainya; model itulah pada prinsipnya mewujudkan prinsipnya mewujudkan
perlengkapan konseptual manusia untuk penafsiran segala sesuatunya didalam dan
diluar dirinya; sistem inilah yang tersedia untuk dan sekaligus mengikat juga
seorang sastrawan dan penikmat sastra. Sastra disebut Lotman ein sekundares modellbildende system, sistem
tanda sekunder yang membentuk model. Yaitu yang tergantung pada sistem primer
yang diadakan oleh bahasa, dan yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan
seringkali dalam pertentangan dengan sistem bahasa.
2.
Karya sastra dan konvensi budaya
Konvensi dibedakan atas konvensi
bahasa dan konvensi sosialinguistik ala Pratt, maupun dari konvensi budaya.
Dari segala apa yang dikatakan jelaslah pemahaman sebuah karya sastra tidak
mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra
tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya.
Pemisahan konvensi budaya dari
konvensi bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin
atau tidak mudah dilaksanakan, oleh karena banyak konvensi budaya telah
terkandung dalam sistem bahasa dan konvensi sosio-linguistik serta dalam sistem
sastra.
3.
Konvensi sastra
Istilah konvensi masuk bidang sastra
dan ilmu sastra dari dunia hukum, lewat ilmu-ilmu sosial: konvensi mula-mula
dianggap lembaga, aturan sosial, sesuatu yang disetujui oleh anggota
masyarakat; kemudian masuk bidang sastra lewat orang Romantik dalam abad ke-19,
khususnya Madame de Stael; mereka justru sangat kuat menentang konvensi sosial,
mau kembali kealam tanpa konvensi yang mengikat secara sosial, jadi konvensi
dialami sebagai ikatan, lingkungan yang dari padanya kita harus membebaskan
diri. Tetapi betapa kuat kita menantang adanya dan perlunya konvensi, sastra
dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis
dan kreasi, antara tiruan dan ciptaan.
4.
Masalah kompetesi kesastraan, dengan contoh konvensi puisi lirik (Culler)
Dalam ilmu sastra modern (yang
disebut strukturalis semiotik) peranan konvensi dalam perwujudan sastra dan
karya sastra sangat ditekankan; bukan sebagai sistem yang beku dan ketat,
tetapi sistem yang luwes dan penuh dinamika. Konvensi itu sangat berbeda-beda
sifatnya; ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan spesifik, dan yang
terbatas pada jenis atau golongan karya sastra tertentu.
Misalnya ada konvensi
umum mengenai drama dan lirik, jadi konvensi yang cukup umum sifatnya; ada pula
konvensi pantun atau soneta, yang cukup spesifik. Dalam buku Culler (1975)
dengan panjang lebar dibicarakan masalah konvensi sebagai dasar pemahaman karya
sastra bagi seorang pembaca.
Dan ilmu sastra, puitik justru harus
meneliti sistem itu, dengan kutipan dari Roland Barthas: harus mengeksplisitkan
“sistem yang mendasari karya yang memungkinkan efek kesastraan”. Melalui
kemampuan sistem konvensi itu kita merebut makna karya sastra yang disebut oleh
Culler dan kawan-kawan naturalization mengembalikan
yang aneh pada yang wajar, “masuk akal”. Culler mulai mengemukakan secara
analog dengan Marry Loise Pratt, walaupun latar belakangnya lain sekali bahwa
yang menjadikan sebuah tulisan puisi pertama-tama bukanlah ciri-ciri
kebahasaannya, melainkan konvensi type of
reading, cara membaca yang dipaksakan pada pembaca agar dia memahami puisi
lirik sebagai puisi lirik.
Tiga konvensi dasar yang dikemukakan
oleh Culler sebagai konvensi dasar lirik modern yaitu:
1. Jarak
dan deiksis: Kata deiktik adalah kata yang referensnya berganti-ganti,
tergantung pada siapa yang menjadi si
pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Misalnya
kata sebagai aku, ini, disini, kemarin dan
lain-lain disebut deiktik.
2. Keseluruhan
yang organik: harapan konvensi dan kebulatan makna menentukan kegiatan
penafsiran pembaca; juga sajak yang kelihatannya tidak koheren, tidak mempunyai
kebulatan makna dicobanya memberi makna.
3. Tema
dan perwujudan: yaitu konvensi significance
makna yang relevan (yang sudah tentu erat hubungannya dengan konvensi
kedua). Kasus khas dari konvensi ini adalah bahwa puisi seringkali mengambil
relevensinya dari makna sebagai “perenungan atau pengamatan mengenai masalah
puisi”.
5.
Masalah jenis sastra: teori Aritoteles
Aristoteles, yang didalam tulisannya
yang terkenal dan berjudul Poetika
(misalnya Ancient Literary Cristicism 1972: 85-132) meletakkan dasar untuk
studi jenis sastra. Aristoteles insaf bahwa karya sastra dapat digolongkan
menurut berbagai kristeria; sistem yang disusunnya secara garis besar adalah
sebagai berikut: ada tiga macam kriteria yang dapat dijadikan patokan. Dalam
penerapan kriteria tersebut masing-masing, terjadi berbagai kemungkinan untuk
pembagian karya sastra menurut jenisnya; kriteria utama menurut Aristoteles:
a.
Sarana perwujudannya
1. Prosa
2. Puisi:
a.
Karya yang memanfaatkan hanya satu mantra (metrum) saja (misalnya epik, contoh indonesia:
syair).
b. Karya
memanfaatkan lebih dari satu matra (misalnya tragedi, kekawin).
b. Objek
perwujudan
Yang menjadi objek pada prinsipnya selalu manusia, tetapi
ada tiga kemungkinan:
1. Manusia
rekaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik Homeros; cerita Panji
2. Manusia
rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi; lenong;
3. Manusia
rekaan sama dengan manusia nyata:
c.
Ragam perwujudan
1. Teks
sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh (dialog):
epik;
2. Yang
berbicara si aku lirik penyair: lirik;
3. Yang
berbicara para tokoh saja: lirik;
6.
Strukturalisme dan masalah jenis sastra
Menurut pendekatan ini karya sastra merupakan aktualisasi
sebuah perangkat konvensi, aktualisasi yang sekaligus memenuhi harapan pembaca
dan
melanggarkannya
karena inovasi; konvensi sastra merupakan sistem hirarki, yang didalamnya justru
konvensi jenis sastra, sebagai sistem bagian merupakan lapisan yang penting.
Menurut rumusan Scholes jenis sastra adalah mata rantai yang menghubungkan
karya sastra individual dengan kemestaan
sastra).
Kutipan dari Culler (1975:147): pada asasnya fungsi konvensi
jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca agar
terpenuhi harapan tertentu yang relevan, dan demikian dimungkinkan sekaligus
penyesuain dengan dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima.
Sistem konvensi yang seperti ini tidak dapat kita pastikan hanya secara
induktif saja, sebab pasti ada prinsip-prinsip umum yang berlaku didalamnya;
tetapi tidak mungkin pula ditentukan hanya secara teori deduktif saja; jadi ada
konsekuensi untuk peneliti sastra. Dengan rumusan Tadorov, yang dikutip oleh
Scholes “batasan jenis sastra oleh karena itu merupakan suatu kian kemari yang
terus-menerus antara deskripsi fakta-fakta dan abstraksi teori”. Sedangkan menurut Guillen (1971: 109) jenis sastra adalah
undangan atau tantangan untuk melahirkan wujud.
Hal ini berarti konvensi jenis sastra tidak pernah dipenuhi
seratus persen: selalu ada kelonggaran, kebebasan tententu. Tadorov malahan
mengatakan bahwa setiap karya agung per definisi menciptakan janis karya
sastranya sendiri. Setiap karya sastra yang agung menetapkan terwujudnya dua
jenis, kenyataan dua norma: norma jenis yang dilampauinya, yang menguasai
sastra sebelumnya; dan norma jenis yang diciptakannya.
Dari yang dikatakan diatas jelas pula bahwa dalam penelitian
sistem jenis sastra tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan
diakronik dan sinkronik; karya sastra selalu berada dalam ketegangan dengan
karya-karya yang diciptakan sebelumnya.
7.
Masalah sistem satra
Tentang sistem sastra dapat
dikatakan sebagai berikut:
a.
Sistem itu tak dapat tidak bersifat longgar, lincah; oleh karena karya sastra
individual justru ditandai oleh penyimpangan, pelanggaran terhadap norma-norma,
maka dengan sendiri sistem itu.
b. Sebagai
akibatnya, perbedaan antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk
konsep sistem bahasa, untuk sistem sastra tidak berlaku dengan kejelasan yang
sama.
Kesimpulannya jelas; sebuah sastra, dalam menifestasi
konkrit dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak menunjukkan unsur-unsur
sistematikany. Tetapi mendeskripsikan secara konkrit sistem sastra seluruhnya
dengan segala ketegangannya, dalam hirarkinya yang ruwet dan tergantung dari
sekian banyak faktor, merupakan tugas yang sulit sekali dan yang pasti tidak
pernah berhasil sepenuhnya, oleh karena perdefinisi karya sastra luput dari
keketatan dan kebekuan sistematik yang menyeluruh.
8.
Masalah sistem sastra universal
Pembianaan sistem sastra universal
yang lain adalah ahli sastra Canada, Northrop Frye, yang sangat berpengaruh
dalam teori dan pendidikan sastra di Amerika Serikat. Pangkal pikirannya ialah:
sastra bukanlah mustahil hanya sejumlah karya saja yang kebetulan atau
sembarangan, yang tidak berkaitan satu sama lain. Metode yangh dipakai Frye
untuk mengembangkan sistem sastra yang menyeluruh adalah gabungan pendekatan
induktif dan deduktif. Ringkasan hasil penelitian Frye seperti terkandung dalam
bukunya Anatomy of Criticims; hanya dapat dikatakan bahwa menurut Frye ada
empat jenis sastra yang major utama: comedy, romance, tragedy dan satire, yang
membayangkan mitos arketip.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulannya dapat diringkaskan
sebagai berikut: kalau kita kembali ke karya sastra, tujuan awal dan akhir ilmu
sastra, jelaslah yang menentukan ciri khasnya adalah ketegangan antara
inovention dan convention, antara sistem konvensi yang mengikatnya dan
sekaligus diatasinya. Peneliti sastra yang tidak memperhatikan ketegangan itu
tidak mungkin memahami karya sastra itu secara tepat: penelitiannya secara
terisolasi selalu menghilangkan sesuatu yang esensial dari karya sastra ; dan
hal itu berkonsekuensi langsung untuk penelitian sastra. Dalam hubungan ini
perlu pula diperhatikan bahwa hubungan antara konvensi dan karya individual
bukan suatu berian yang tetap; dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup
besar antara masyarakat –masyarakat tertentu; khususnya dalam masyarakat
tradisional barangkali umumnya konvensi lebih mengikat, pencipta karya sastra
lebih patuh pada konvensi, sedangkan dalam kebudayaan modern justru
penyimpangan, pembaharuan yang dianggap penting sehingga malahan dikatakan
bahwa hanya karya sastra yang jelas-jelas merombak konvensi dapat bernilai.
B.
Saran
Sebaiknya karya sastra maupun sistem
sastra yang ada dinegara kita ini diharus diperhatikan lagi, karena menurut
saya karya sastra yang dimiliki oleh orang Indonesia ini bagus-bagus. Dan
sebaiknya juga masyarakat setempat harus bangga dengan karya yang dimiliki oleh
negaranya sendiri
ini copy dari teeuw Sastra dan Ilmu Sastra ya?
ReplyDelete