Latar Belakang Masalah
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato
dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya
Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis
sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan
ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode
kritik sastra yang lain.
Mimesis
berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan
kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam
mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan
realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi
sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang
menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan ( Ravertz.2007: 12).
Pokok Masalah
Masalah
yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini ialah:
a.
Biografi singkat Plato dan
Aristoteles
b.
Pandangan Plato dan Aristoteles
mengenai mimesis
c.
Konsep mimesis setelah Plato dan
Aristoteles
Tujuan
Sesuai
dengan pokok permasalahan di atas, tujuan makalah ini adalah:
a.
Deskripsi biografi Plato dan
Aristoteles
b.
Deskripsi pandangan Plato dan
Aristoteles mengenai mimesis
c.
Deskripsi Konsep mimesis setelah
Plato dan Aristoteles
Biografi Plato dan Aristoteles
Deskripsi biografi Plato dan Aristoteles dianggap perlu
dikemukakan karena sangat mustahil untuk membicarakan pandangan seorang
filsuf tanpa membicarakan biografinya.
1. Plato
Plato (427-347 SM) dilahirkan di lingkungan keluarga
bangsawan kota Athena. Semenjak muda ia sangat mengagumi Socrates (470-399),
seorang filsuf yang menentang ajaran para sofis, sehingga pemikiran Plato
sangat dipengaruhi sosok yang di kemudian hari menjadi gurunya tersebut. Plato
memiliki bakat yang sangat besar untuk menjadi pengarang, terbukti hingga saat
ini setidaknya 24 dialog Plato dianggap sebagai kesusastraan dunia. Sebagaimana
Socrates, Plato selalu mengadakan percakapan dengan warga Athena untuk menuliskan
pikiran-pikirannya. Pada tahun 387 SM Plato mendirikan sekolah filsafat yang
dinamakannya Akademia (Bertness.1979: 12).
Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal ialah
pandangannya mengenai realitas. Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua
dunia: dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi panca
indra. Dunia pertama terdiri atas idea-idea dan dunia berikutnya ialah dunia
jasmani. Bahkan pemikiran Plato tersebut bahkan berhasil mendamaikan
pertentangan antara pemikiran Hera Kleitos dan Parmenides(Bartness.1979:14).
Pandangan Plato mengenai dunia tersebut akan dibahas lebih rinci pada sub-bab
berikutnya karena sangat terkait dengan konsep mimesis.
2.
Aristoteles
Aristoteles (384-322) berasal dari Stegeira di daerah
Tharke, Yunani Utara. Ia belajar di sekolah filsafat yang didirikan Plato dan
tinggal di Akademia hingga Plato meninggal dunia. Dua tahun kemudian
Aristoteles diangkat sebagai guru pribadi Alexander Agung, barulah
setelah Alexander Agung dilantik sebagai raja ia mendirikan sekolah yang
dinamakannya Lykeion. Sebagaimana Plato yang sangat mengagumi gurunya,
Aristoteles pun sangat mengagumi Plato sebagai pemikir dan sastrawan meskipun
dalam filsafatnya Aristoteles menempuh jalan sendiri. Aristotels mengatakan
bahwa Plato adalah sahabatnya, tetapi kebenaran lebih akrab dengannya
(Bartness.1979:14).
Minat-minat Aristoteles terentang meliputi bidang alamiah
dan manusia, termasuk didalamnya etika dan metafisika. Ia merupakan filsuf
terkemuka dan terbesar. Asumsi ini dibuktikan berabad-abad melampaui zamannya,
sehingga tulisan-tulisannya merupakan basis filsafat alamiah hingga abad ke-17,
meskipun tetap terhindarkan adanya kesalah pahaman dan tulisannya pernah
digunakan untuk menyusun dogma yang steril. Perbedaan pandangan antara dirinya
dan Plato diawali oleh soal-soal mendasar (Jerome R. Rafertsz.2007:12-13).
Aristoteles menyatakan kritik yang sangat tajam
terhadap pandangan Plato mengenai konsep Idea-idea. Ia bahkan menawarkan konsep
baru yang dikemudian hari dinamakan hilemorfisme sebagai alternative
bagi ajaran Plato mengenai Idea-idea (Bartness.1979: 15). Sekalipun demikian
tidak dapat disangsikan Aristoteles tetap berutang budi kepada Plato karena
dialah yang pertama kali mengungkap tentang idea-idea.
Pandangan Plato mengenai mimesis
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh
pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana
pandangannya mengenai seni.
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu
hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan
dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui
melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra.
Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya
idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan
dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu .
Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang
terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens1979:13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut,
Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic
bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari
negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena,
mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut
muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan
menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’.
Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy
dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya
(dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang
tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat
kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk
yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak
kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang),
mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan.
Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan
tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan
tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal.
(Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra
hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah
disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato
mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi,
bukan rasio (Teew. 1984:221).
Pandangan Aristoteles Mengenai Mimemesis
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan
Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato
terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia
karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai
sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila
Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa.
Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas
kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk
menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru
dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica
(via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy
(sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia”
(konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang
seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali
menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang
membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh
lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh
pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea
manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah
yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat
berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh
Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk
adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut,
dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).
Konsep Mimesis setelah Plato dan Aristoteles
Mimesis yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat
ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat
keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Luxemberg (1989: 18)
menyebutkan bila pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoles mengenai
mimesis saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf
Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimesis tidak lagi diartikan suatu pencerminan
tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap Idea.
Dari pandangan ini dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak
meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair,
tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan
tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih
luhur.
Konsep mimesis zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser
pada zaman romantic. Aliran romantic menurut Luxemberg (1989:18) justru
memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah
dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak
diutamakan lagi. Sastra dans eni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan
indrawi, tetapi juga menciptakan bagan (madul) mengenai kenyataan. Kaum
romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimesis, misalnya persoalan plot
dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan
juga dipandang sebagai kesatuan organic dan karena itulah drama memaparkan
suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia.
No comments:
Post a Comment