Budaya organisasi adalah faktor yang
menentukan karakteristik suatu organisasi. Kajian budaya organisasi memiliki
nilai signifikan dalam meneliti kinerja sebuah organisasi. Kajian budaya organisasi
menunjukkan bagaimana suatu budaya berkembang di dalam organisasi,
terinternalisasi di dalam perilaku para anggota organisasi, dan memiliki
hubungan dengan kinerja keseluruhan organisasi termaksud. Budaya organisasi
satu dengan organisasi lain relatif berbeda, bergantung pada karakteristik
organisasi perusahaan. Dalam hal ini, organisasi profit memiliki
perbedaan budaya dengan organisasi non profit atau, organisasi
pemerintah berbeda budayanya dengan organisasi swasta.
Definisi awal budaya organisasi
disampaikan oleh Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (1982) sebagai : “the
integrated pattern of human behavior that included thought, speech, action, and
artifacts and depends on man’s capacity for learning and transmitting knowledge
to succeeding generation” (dalam Ndraha, 2006:75).
Glaser dalam (Kreitner dan Kinicki,
2005:81) menyatakan bahwa budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti
yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual
dan mitos-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai
perekat yang menyatukan organisasi. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau
perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena
lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur
dan trading.
Schein (1996) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh
kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersenbut rasakan, pikirkan, dan
bereaksi terhadap lingkunmgannya yang beraneka ragam. Dari definisi ini,
menyoroti tiga karakteristik budaya organisasi yang penting, yaitu pertama :
budaya organisasi diberikan kepada para karyawan baru melalui proses
sosialiasasi. Kedua, budaya organisasi mempengaruhi perilaku di tempat kerja,
dan ketiga, budaya organisasi berlaku pada tingkat yang berbeda (Kreiner dan
Kinicki, 2005). Lebih lanjut Schein mengemukakan budaya organisasi Schein
menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi dasar
yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi. Serangkaian asumsi
dasar dapat dipelajari oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi mampu
bertindak sebagai pemberi solusi atas masalah organisasi, berperan selaku
adaptor terhadap faktor-faktor yang berkembang di luar organisasi, serta dalam
melakukan integrasi internalnya dari para anggotanya. adalah totalitas
nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu
kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.
Sejumlah peneliti telah melakukan
kajian seputar konsep budaya organisasi. Walter R. Freytag mendefinikan budaya
organisasi sebagai “ ... a distint and shared set of conscious and
unconscious assumptions and values that binds organizational members together
and prescribes appropriate patters of behavior.”[2]
Freytag menitikberatkan pada
asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu
mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola
perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A.
Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ...
the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and
expectations that organize and integrate a group of people who work together.”[3]
Definisi Grunig et.al. ini
mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya
organisasi Sejumlah peneliti telah melakukan kajian seputar konsep budaya
organisasi. Walter R. Freytag mendefinikan budaya organisasi sebagai “ ...
a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values
that binds organizational members together and prescribes appropriate patters
of behavior.”[2]
Freytag menitikberatkan pada
asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu
mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola
perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A.
Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ...
the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and
expectations that organize and integrate a group of people who work together.”[3]
Definisi lain, dan ini merupakan
definisi dari seorang perintis teori budaya organisasi, diajukan oleh Edgar H.
Schein. Schein menyatakan budaya organisasi sebagai “.... a pattern of
shared basic assumption that was learned by a group as it solved its problems
of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to
be considered valid and, therefore, to be taught to new member as the correct
way to perceive, think, and feel in relation to those problem.”[4]
Definisi yang lebih rinci mengenai
budaya organisasi diberikan oleh Matt Alvesson, bahwa saat bicara mengenai
budaya organisasi, maka“ ... seems to mean talking about the importance for
people of symbolism – of rituals, myths, stories and legends –
and about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are
influenced and shaped by the groups within they live. I will also, however, take
organizational culture to include values and assumptions about social reality
...”[5]
Bagi Alvesson, pembicaraan mengenai
budaya organisasi sulit dilepaskan dari pembicaraan mengenai pentingnya
simbolisme bagi manusia, serta peristiwa, gagasan, dan pengalaman yang dialami
serta dibentuk oleh kelompok di mana seseorang beraktivitas. Dalam analogi
dengan kajian sosiologi, anggota organisasi berposisi sebagai individu
sementara organisasi berposisi sebagai masyarakat. Organisasi
membentuk anggota organisasi agar menyesuaikan diri terhadap budaya yang
berkembang di dalam organisasi sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam
organisasi tersebut.
Majken Schultz menyatakan bahwa
konsep budaya organisasi merupakan antitesis dari pendekatan-pendekatan
organisasi yang bersifat rasionalistik dan mekanistik.[6] Menurut Schultz,“organizational
culture focuses on the beliefs, values and meanings used by member of an
organization to grasp how the organization’s uniqueness originates, evolves,
and operates.”
Ukuran-ukuran seperti keyakinan,
nilai, dan makna bukanlah suatu ukuran yang bersifat manifest melainkan laten.
Ukuran-ukuran tersebut bersifat kualitatif dan relatif sehingga penelitian
budaya suatu organisasi bukanlah hal yang mudah. Masih menurut Schultz, konsep-konsep
sebelumnya yang bersifat rasionalitik dan mekanistik cenderung memperlakukan
anggota organisasi sebagai alat yang efektif dalam pencapaian tujuan
organisasi ataupun sekadar mengkalkulasi perilaku organisasi berdasarkan
struktur formal organisasi. Sebaliknya, budaya organisasi lebih
menekankan pada kerangka mendasar dalam mana orang diperlakukan sebagaimana
adanya dalam konteks kegiatan pekerjaan dan sosial mereka.
Definisi lain mengenai budaya
organisasi diajukan oleh Jan A. Pfister dengan mengkombinasikan defisini budaya
organisasi dari Edgar H. Schein, O’Reilly, and Chapman. Pfister
mendefinisikan budaya organisasi sebagai:“... a pattern of basic assumptions
that a group has invented, discovered or developed in learning to cope with its
problems of external adaptation and internal integration, which is represented
in a system of shared values defining what is important, and norms, defining
appropriate attitudes and behaviors, that guide each individual’s attitude and
behaviors.”[7]
Bagi Pfister, budaya organisasi
memiliki empat karakteristik yaitu : (1) pemahaman bersama di antara anggota
kelompok; (2) interaksi para anggota suatu kelompok; (3) bersifat implisit
ataupun eksplisit; dan (4) didasarkan sejarah serta tradisi.[8] Nilai
serta norma yang mengatur perilaku anggota kelompok adalah kata kunci untuk
mengamati budaya organisasi. Nilai mengimplikasikan apa yang penting atau
dijunjung tinggi oleh suatu organisasi sementara norma merupakan upaya
organisasi untuk mengatur perilaku yang diharapkan atas para anggotanya. Dengan
pandangan seperti ini, budaya organisasi adalah relatif dari satu organisasi ke
organisasi lainnya, bergantung pada nilai dan norma yang dikembangkannya.
Dalam kajiannya, Joann Keyton turut
menyumbangkan definisi budaya organisasi, yang menurutnya adalah “ ... is
the set(s) of artifacts, values, and assumptions that emerge from the
interactions of organizational member.”[9] Bagi Keyton, artifak, nilai dan
asumsi dalam suatu organisasasi merupakan unsur yang tumbuh dari interaksi para
anggota organisasi. Faktor manusia menjadi sedemikian penting dalam
kajian-kajian mengenai budaya organisasi ini.
Budaya organisasi bukan merupakan
konsep yang mudah diukur. Kim S. Cameron dan Robert E. Quinn bahkan
berargumentasi bahwa kurangnya daya tarik budaya organisasi sebagai bahan
penelitian adalah akibat sifatnya yang terlampau menekankan pada asumsi,
harapan, ingatan kolektif, termasuk apa yang “orang bawa di dalam benak
mereka.”[10] Sifat subyektif dari budaya organisasi ini merupakan aspek yang
membuatnya kerap sulit diukur.
Definisi lain dari budaya organisasi
diajukan oleh Geert H. Hofstede dalam kajiannya mengenai budaya organisasi di
sejumlah negara. Hofstede mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ... the
collective programming of the mind that distiguishes the members of one
organization from another.”[11] Budaya organisasi merupakan pemrograman
pikiran yang bersifat kolektif, dalam mana budaya organisasi ini membedakan
anggota (manusia) di satu organisasi dengan organisasi lainnya. Berdasarkan
pernyataan Hofstede ini, setiap organisasi pasti mengembang budaya yang
berbeda-beda.
Hingga titik ini, definisi dari
budaya organisasi telah cukup jelas, dalam mana keseluruhannya rata-rata
menekankan pada konsep “nilai, norma, asumsi, yang berlaku di dalam suatu
organisasi yang mengatur perilaku individu dalam berpikir ataupun merasa di
dalam organisasi dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan eksternal maupun membangun
integrasi internal, dalam mana nilai, norma, dan asumsi tersebut akan
disosialisasi dan diinternalisasi kepada anggota-anggota baru
organisasi.”
Menurut Nawawi (2003:283) yang dikutip dari Cushway B dan
Lodge D, hubungan budaya dengan budaya organisasi, bahwa “budaya organisasi
adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi falsafah utama yang
dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam menjalankan atau
mengoperasionalkan kegiatan organisasi”. Sedangkan Nawawi (2003, :283) yang
dikutip dari Schemerhom, Hurn dan Osborn, mengatakan “budaya organisasi adalah
suatu sistem penyebaran keyakinan dan nilai-nilai yang dikembangkan di dalam
suatu organisasi sebagai pedoman perilaku anggotanya”.
Tunstal dalam Wirawan (2007) mendefinisikan, budaya organisasi
adalah suatu kepercayaan, kebiasaan, nilai, norma perilaku, dan cara melakukan
bisnis yang unik bagi setiap organisasi yang mengatur pola aktivitas dan
tindakan organisasi, serta melukiskan pola implisit, perilaku, dan emosi yang
muncul yang menjadi karakteristik dalam organisasi. Adapun menurut Elridge dan
Crombie dalam Wirawan (2007) mendefinisikan, suatu budaya organisasi menunjukan
konfigurasi unik dari norma, nilai, kepercayaan, dan cara-cara berperilaku yang
memberikan karakteristik cara kelompok dan individu bekerja sama untuk
menyelesaikan tugasnya.
Definisi lebih luas, disampaikan oleh Schein (2004) sebagai
: “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved
its problems of external adaptation and internal integration that has worked
well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members
as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems?
Kesimpulan
Dari berbagai definisi yang diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu kepercayaan, nilai, norma
perilaku yang diterima dan disosialisasikan secara berkesinambungan sebagai
pembentuk karakteristik organisasi dalam menghadapi tantangan / adaptasi
eksternal dan integrasi internal dan konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu
yang secara mudah dapat diukur akibat ia banyak melibatkan serangkaian variabel
laten seperti nilai, norma, dan asumsi. Untuk itu, perlu dilakukan suatu
kajian literatur guna mengkaji sistem pelapisan konsep yang inheren di dalam
budaya organisasi.
No comments:
Post a Comment