a) Pengertian Pembangunan
Dalam
pemahaman sederhana pembangunan diartikan sebagai proses perubahan kearah yang
lebih baik, melalui upaya yang dilakukan secara terencana. Pembangunan dalam
sebuah negara sering dikaitkan dengan pembangunan ekonomi (economic
development). Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total
dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya peningkatan jumlah dan
produktifitas sumber daya, termasuk pertambahan penduduk, disertai dengan
perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara serta pemerataan
pendapatan bagi penduduk suatu negara. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Sumitro dalam Deliarnov (2006:89), bahwa proses pembangunan ekonomi harus
merupakan proses pembebasan, yaitu pembebasan rakyat banyak dari belenggu
kekuatan-kekuatan ekonomi, dan pembebasan negara-negara berkembang dari
belenggu tata kekuatan ekonomi dunia.
Secara
terminologis, di Indonesia pembangunan identik dengan istilah development,
modernization, westernization, empowering, industrialization,
economic growth, europanization, bahkan istilah tersebut juga
sering disamakan dengan term political change. Identifikasi pembangunan
dengan beberapa term tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multi-interpretable,
sehingga kerap kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa term lain
yang berlainan arti (Moeljarto Tjokrowinoto, 2004). Makna dasar dari development
adalah pembangunan. Artinya, serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan
kondisi masyarakat sebuah kawasan atau negara dengan konsep pembangunan
tertentu.
b) Lahirnya Pembangunan
Dalam perkembangan sejarahnya, terlihat bahwa
kapitalisme lahir lebih kurang tiga abad sebelum teori-teori pembangunan
muncul. Sehingga, berbagai perdebatan terhadap teori maupun praktek pembangunan
sudah berada di dalam alam kapitalisme. Karena itu, tidak mengherankan jika
kapitalisme sangat mewarnai teori-teori pembangunan.
Motivasi
teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang
sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis,
sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya
dalam teori dependensi yang bertolak dari analisa Marxis, dapat diakatakan
hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan
buruh) ke tingkat antar negara (sentarl dan pinggiran), dengan analisis
utama yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia
yang didasari teori dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan
satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi
kapitalis.
c) Pendekatan Dalam Pembangunan
1.
Teori Modernisasi
a. Sejarah Singkat
Tanggal
20 Januari 1949, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman kali pertama menyitir
istilah “developmentalism”. Untuk selanjutnya, ia mempropagandakan
istilah under-development bagi negara-negara bekas jajahan agar mampu
meredam pengaruh Komunisme-Sosialisme sebagai tawaran ideologi pembangunan,
(Stephen Gill, 1993:248)
Teori
Modernisasi lahir sekitar tahun 1950-an di Amerika Serikat sebagai wujud respon
kaum intelektual atas Perang Dunia II yang telah menyebabkan munculnya
negara-negara Dunia Ketiga. Kelompok negara miskin yang ada dalam istilah Dunia
Ketiga adalah negara bekas jajahan perang yang menjadi bahan rebutan pelaku
Perang Dunia II. Sebagai negara yang telah mendapatkan pengalaman sekian waktu
sebagai negara jajahan, kelompok Dunia Ketiga berupaya melakukan pembangunan
untuk menjawab pekerjaan rumah mereka yaitu kemiskinan, pengangguran, gangguan
kesehatan, pendidikan rendah, rusaknya lingkungan, kebodohan, dan beberapa
problem lain.
Oleh
karena adanya kepentingan tersebut, maka negara adidaya, khususnya Amerika
Serikat mendorong kepada ilmuwan sosial untuk mempelajari
permasalahan-permasalahan yang terjadi di negara dunia ke tiga tersebut. Maka
muncullah beberapa teori-teori pembangunan dengan berbagai istilahnya dan
berbagai alirannya dalam perspektif beberapa ahli yang mengemukakannnya.
Permasalahan di dunia ketiga tersebut salah satunya di kaji melalui Teori
Modernisasi. Teori modernisasi di bahas oleh beberapa sosiolog dengan
perspektif yang berbeda-berbeda. Yang termasuk teori modernisasi klasik antara
lain:
-
Teori Evolusi yang menggambarkan
perkembangan masyarakat (perubahan social) sebagai gerakan searah seperti garis lurus.
Masyarakat berkembang dari masyarakat primitive menuju masyarakat modern. Dalam
pandangan teori evolusi, masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang
tidak bisa dihindarkan dan merupakan bentuk masyarakat yang “dicita-citakan”.
-
Teori Fungsionalisme dari Talcon
Parson, yang bernaggapan bahwa masyarakat tidak ubahnya seperti organ tubuh
manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling bergantung. Dan
setiap organ tersebut memilki fungsi yang jelas dan khas. Demikian pula dalam
kelembagaan masyarakat, setiap elemen masyarakat (lembaga) melaksanakan tugas
tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan msayarakat tersebut.
-
Teori
Diferensiasi Struktural dari Smelser yang beranggapan bahwa modernisasi akan
selalu melibatkan diferensiasi structural. Dengan proses modernisasi,
ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan berbagai berbagai fungsi
sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu fungsi yang
lebih khusus.
-
Teori
Tahapan Pertumbuhan Ekonomi dari Rostow yang menyatakan bahwa ada lima tahapan
pembangunan ekonomi, yaitu dari mulai tahap masyarakat tradisional sampai pada
tahap konsumsi masa tinggi. Rostow menekankan adanya tahapan kritis dari
pertumbuhan ekonomi masyakarat, yaitu adanya tahap tinggal landas.
Pandangan (asumsi)
teori modernisasi klasik terhadap modernisasi antara lain:
1)
Modernisasi merupakan proses
bertahap
2)
Modernisasi juga merupakan proses
homogenisasi.
3)
Dalam wujudnya, modernisasi
terkadang dianggap sebagai proses Eropanisasi atau Amereikanisasi, atau yang
lebih populer werternisasi (modernisasi sama dengan dunia Barat).
4) Modernisasi
dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur.
5) Modernisasi
merupakan perubahan progresif.
6) Modernisasi
memerlukan waktu panjang.
Teori Modernisasi: Pembangunan sebagai
masalah internal.
Teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan lebih
disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam
negara yang bersangkutan.
Ada banyak variasi dan teori yang tergabung
dalam kelompok teori ini antara lain adalah:
1.Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya
merupakan masalah penyediaan modal dan investasi. Teori ini biasanya
dikembangkan oleh para ekonom. Pelopor teori antara lain Roy Harrod dan Evsay
Domar yang secara terpisah berkarya namun menghasilkan kesimpulan sama yakni:
pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi.
2.Teori yang menekankan aspek psikologi
individu. Tokohnya adalah McClelaw dengan konsepnya The Need For Achievment
dengan symbol n. ach, yakni kebutuhan atau dorongan berprestasi, dimana
mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n.ach
yang tinggi. Cara pembentukanya melalui pendidikan individu ketika seseorang
masih kanak-kanak di lingkungan keluarga.
3.Teori yang menekankan nilai-nilai budaya
mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di
sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Satu masalah pembangunan bagi
Max Weber (tokoh teori ini) adalah tentang peranan agaman sebagai faktor
penyebab munculnya kapitalisme di Eropa barat dan Amerika Serikat. Bagi Weber
penyebab utama dari semua itu adalah etika protestan yang dikembangkan oleh
Calvin.
4.Teori yang menekankan adanya
lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum
lepas landas dimulai. Bagi W.W Rostow, pembangunan merupakan proses yang
bergerak dalam sebuah garis lurus dari masyarakat terbelakang ke masyarakat
niaga. Tahap-tahapanya adalah sbb:
- Masarakat tradisional=belum banyak menguasai ilmu
pengetahuan.
- Pra-kondisi untuk lepas landas= masyarakat tradisional
terus bergerak walaupun sangat lambat dan pada suatu titik akan mencapai
posisi pra-kondisi untuk lepas landas.
- Lepas landas : ditandai dengan tersingkirnya
hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi.
- Jaman konsumsi massal yang tinggi. Pada titik ini pembangunan
merupakan proses berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara
terus-menerus.
5.Teori yang menekankan lembaga sosial dan
politik yang mendukung proses pembangunan. Tokohnya Bert E Hoselitz yang
membahas faktor-faktor non-ekonomi yang ditinggalkan oleh W.W Rostow. Hoselitz
menekankan lembaga-lembaga kongkrit. Baginya, lembaga-lembaga politik dan
sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga
teknis, tenaga swasta dan tenaga teknologi.
6.Teori ini menekankan lingkungan material.
Dalam hal ini lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk
membentuk manusia modern yang bisa membangun. Tokohnya adalah Alex Inkeler dan
David H. Smith.
b. Asumsi Dasar
Modernisasi
Secara
etimologis, ada beberapa tokoh yang mengajukan pendapat tentang makna
modernisasi. Everett M. Rogers dalam “Modernization Among Peasants: The 10
Impact of Communication” menyatakan bahwa modernisasi merupakan proses
dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih
kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.
Cyril
E. Black dalam “Dinamics of Modernization” berpendapat bahwa secara
historis modernisasi adalah proses perkembangan lembaga-lembaga secara perlahan
disesuaikan dengan perubahan fungsi secara cepat dan menimbulkan peningkatan
yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia. Dengan
pengetahuan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk menguasai lingkungannya
dan melakukan revolusi ilmiah.
Daniel
Lerner dalam “The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East” menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu trend
unilateral yang sekuler dalam mengarahkan cara-cara hidup dari tradisional
menjadi partisipan. Marion Ievy dalam “Modernization and the Structure of
Societies” juga menyatakan bahwa modernisasi adalah adanya penggunaan
ukuran rasio sumberdaya kekuasaan, jika makin tinggi rasio tersebut, maka
modernisasi akan semakin mungkin terjadi.
Dari
beberapa definisi tersebut, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah upaya
tindakan menuju perbaikan dari kondisi sebelumnya. Selain upaya, modernisasi
juga berarti proses yang memiliki tahapan dan waktu tertentu dan terukur.
Sebagaimana
sebuah teori, Modernisasi memiliki asumsi dasar yang menjadi pangkal
hipotesisnya dalam menawarkan rekayasa pembangunan. Pertama, kemiskinan
dipandang oleh Modernisasi sebagai masalah internal dalam sebuah negara (Arief
Budiman, 2000:18).
Kemiskinan
dan problem pembangunan yang ada lebih merupakan akibat dari keterbelakangan
dan kebodohan internal yang berada dalam sebuah negara, bukan merupakan problem
yang dibawa oleh faktor dari luar negara. Jika ada seorang warga yang miskin
sehingga ia tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya, maka penyebab utama dari fakta
tersebut adalah orang itu sendiri dan negara dimana orang tersebut berada,
bukan disebabkan orang atau negara lain. Artinya, yang paling pantas dan layak
melakukan penyelesaian masalah atas kasus tersebut adalah orang dan negara
dimana orang itu berada, bukan negara lain.
Kedua,
dari segala problem adalah kemiskinan, pembangunan berarti perang terhadap
kemiskinan. Jika pembangunan ingin berhasil, maka yang kali pertama harus
dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan dari sebuah negara. Cara paling tepat
menurut Modernisasi untuk menghilangkan kemiskinan adalah dengan ketersediaan
modal untuk melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat investasi di sebuah
negara, maka secara otomatis, pembangunan telah berhasil, (Mansour Fakih,
2002:44-47).
Teori Modernisasi adalah teori pembangunan
yang menyatakan bahwa pembangunan dapat dicapai melalui mengikuti proses
pengembangan yang digunakan oleh negara-negara berkembang saat ini. Teori
tindakan Talcott Parsons 'mendefinisikan kualitas yang membedakan "modern"
dan "tradisional" masyarakat. Pendidikan dilihat sebagai kunci untuk
menciptakan individu modern. Teknologi memainkan peran kunci dalam teori
pembangunan karena diyakini bahwa teknologi ini dikembangkan dan diperkenalkan
kepada negara-negara maju yang lebih rendah akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Salah satu faktor kunci dalam Teori Modernisasi adalah keyakinan bahwa
pembangunan memerlukan bantuan dari negara-negara maju untuk membantu
negara-negara berkembang untuk belajar dari perkembangan mereka. Dengan demikian,
teori ini dibangun di atas teori bahwa ada kemungkinan untuk pengembangan yang
sama dicapai antara negara maju dan dikembangkan lebih rendah.
2. Teori Dependensia
(Ketergantungan).
Pendekatan
terhadap dependensia pertama kali muncul di Amerika Latin. Pendekatan teori
dependensia atau pendekatan keterbelakangan lahir sebagai hasil “revolusi
intelektual” secara umum pada pertengahan tahun 1960-an. Setidaknya ada dua
alasan yang menyebabkan lahirnya teori ini. Pertama, teori ini muncul sebagai
perlawanan (tantangan) ilmuwan Amerika Latin terhadap paradigma pembangunan
yang didengungkan oleh Barat sampai tahun 1960-an (Nasution, 2002:44).
Perlawanan pemikiran ini lebih ditujukan sebagai kritik para ilmuwan terhadap
teori modernisasi yang selama itu mereka anggap hanya manisfestasi dari
Eropanisasi dan Amerikanisasi. Kedua, teori dependensia muncul sebagai jawaban
atas kegagalan program yang dijalankan oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin
yang dikenal ECLA atau KEPBAL (So, 2000:89). Pada waktu itu (tahun 1950-an),
banyak negara Amerika Latin mencoba menerapkan strategi pembangunan yang
diprogramkan oleh ECLA melalui program industrialisasi yang berbasis impor.
Harapannya adalah, dari program tersebut diharapkan terjadi peningkatan
kesejahteraan dan mendorong pembanguan politik yang demokratis. Akan tetapi
yang terjadi justru sebaliknya, terjadi ekspansi ekonomi, pengangguran,
inflasi, devaluasi, penurunan nilai tukar mata uang, dan akibat yang lebih
buruk adalah pergolakan politik melalui perlawanan-perlawanan rakyat.
Tidak
disangka, program ECLA yang tidak lain merupakan penerapan dari teori
modernisasi tersebut telah menimbulkan pergolakan. Tumbangnya pemerintahan dan
diganti oleh pemerintahan otoriter yang didukung militer telah membangkitkan
pemikir-pemikir Amerika Latin untuk mencari paradigma baru yang lebih
menitikberatkan pada faktor-faktor dalam negeri, bukan mengharapkan penuh dari
luar.
Di
sisi lain, keberhasilan revolusi Kuba dan Chili (tahun 1960-an) sebagai negara
yang menganut faham sosialisme telah membuka jalan bagi pemikir-pemikir Amerika
Latin untuk menata kembali perekonomian negara-negara di dunia ketiga melalui
paradigma pembangunan yang tidak berkiblat ke barat dengan teori
modernisasinya, melainkan melalui pendekatan baru dengan teori dependensia-nya.
Teori
dependensia telah dikembangkan sebagian besar oleh ilmuwan Amerika Latin antara
lain: Celso Furtado, Theotonio Dos Santos, Fernando Henrique Cardoso, Oswaldo Sunkel,
Enzo Faletto, Marini, dan Andre Gundre Frank serta Paul Baran. Kedua orang
terakhir adalah ilmuwan non Amerika Latin yang sama-sama mengembangkan teori
dependensia.
Tokoh-tokoh Penganut Teori Dependensia dan Beberapa
Pemikirannya
1)
Furtado dan Sunkel (Dipengaruhi oleh ECLA, dan dianggap sebagai pelopor
Teori Dependensia)
Penganut
teori dependensia yang dianggap paling radikal adalah ekonom Brasil yang
bernama Celco Furtado. Pada awalnya ia adalah ekonom yang menganur faham
modernisasi yang percaya bahwa masalah utama negara berkembang adalah karena
kurangnya modal. Asumsi ini yang mulanya berkembang bagi
ekonom yang tergabung dalam program ECLA. Atas dasar itu, umumnya untuk
memecahkan masalah negara berkembang adalah dengan satu usulan yaitu yang biasa
disebut substitusi impor. Setelah pertumbuhan
industri di Brasil pada taun 1950-an, Furtado merasa optimis. Akan tetapi,
ternyata pembangunan telah membawa kudeta militer [ada tahun 1964 di Brasil,
dimana pada waktu itu definisi pembangunan terlalu menitik beratkan pada
pertumbuhan industri. Akibat dari itu, Furtado menjadi kecewa dan pesimis.
Ternyata strategi industrialisasi ECLA telah menciptakan ketergantungan negara
ketiga pada pihak asing. Menurut Furtado, negara maju ditandai dengan dengan adanya
saling tergantung antara “negara” yang kuasa dalam membeli dan investasi yang
mengakibatkan naiknya standar hidup tersebut. Dalam hal ini akan tercipta dasar
demokrasi industri, yaitu berbagi kekuatan politik akan mampu membatasi
kekuasaan para pemilik modal.
Sejak
peristiwa kudeta di Brasil itu, Furtado meninggalkan Brasil dan pindah ke Paris
untuk menerukan analisis terhadap pertumbuhan ekonomi (pembangunan) di negara
Amerika Latin. Hasil pemikirannya membawa usulan bahwa negara berkembang harus
mengambil sikap berdikari. Pemerintah hrus berani berjuang merestrukturisasi
seluruh ekonomi sehingga teknologi modern harus disebarluaskan ke seluruh
lapisan sector produksi. Sebab menurut Furtado, hal itulah yang akan menjamin
pemertaan distribusi pendapatan dan akhinya akan mengakhiri marjinalisasi
rakyat. (Fakih,
2003:125).
2)
Cardoso dan Faletto (Dipengaruhi Marxist)
Ekonom
negara Brasil yang turut pindah dari negerinya adalah Fernando Cordosa. Berbeda
dengan Furtado, Cordosa lebih memilih pindah ke Chili dan bersama ilmuwan Chile
bernama Enzo Faletto melakukan studi sosiologis dan histories tentang berbagai
kasus ketergantungan suatu negara berkembang. Mereke memfokuskan studinya pada
aspek sosio ppolitik. Mereka melihat pembangunan ekonomi sebagai campuran
berbagai interes kelas dari waktu ke waktu. Keadaan ketergantungan ekonomi
terhadap pasar dunia sangatlah krusial. Oleh sebab itu, situasi ketergantutngan
terjadi dalam pola yang secara historis berubah.
Dalam
pandangan Cardoso dan Faletto, negara-negara Amerika Latin setelah merdeka dari
Spanyol dan Portugal, kekuasan politik telah dibiaskan oleh aliansi antara
kekuasaan politik modern, sector agraris komersial, dan ekonomi old hacienda
(Fakih, 2003:127). Selanjtunya, bagi Cardoso persoalan pembangunan yang ada di
dunia sekarang tidak dapat dibatasi hanya pada pembahasan industri substitusi
impor, atau hanya sejedar memperdebatkan strategi pertumbuihan dalam bentuk
pilohan antara orientasi ekspor atau impor, pasar domestic atau pasar dunia. Persoalannya
justru terletak pada ada atau tidaknya gerakan kerakyatan dan kesadaran
kepentingan politik rakyat. Oleh karena itu, dalam pandangan Cardoso, yang
perlu diperhatikan adalah justru usaha-usaha untuk membangkitkan gerakan
kerakyatan, perjuangan kelas, perumusan kembali kepentingan politik, dan
pembanguan aliansi politik yang diperlukan untuk menjaga struktur masyarakat,
tetapi sekaligus juga membuka peluang adanya transformasi social (So,
2000:135).
Aliran ketergantungan muncul dari pertemuan
dua kecenderungan intelektual utama: satu berlatarbelakang tradisi Marxis, yang
selanjutnya mengandung beberapa orientasi teoretis: Marxisme klasik,
Marxisme-Leninisme, neo-Marxisme; yang lainnya berakar pada diskusi pemikiran
strukturalis Amerika Latin tentang pembangunan, yang akhirnya membentuk tradisi
CEPAL. Konsep neo-Marxisme mencerminkan tranformasi pemikiran Marxis dari
pendekatan tradisional, yang menekankan konsep pembangunan dan pada dasarnya
berpandangan Eropasentris, ke pendekatan baru, yang menekankan konsep
keterbelakangan dan mencerminkan pandangan Dunia Ketiga.
• Marxisme (seperti yang ditafsirkan oleh
Lenin), memandang imperialisme dalam perspektif pusat; neoMarxisme, sebaliknya,
memandang imperialisme dari sudut pandang pinggiran.
• Analisis Marxis tentang kelas secara
spesifik didasarkan pada pengalaman Eropa dan menekankan misi emansipatoris
kaum proletariat industri, sementara kelompok neo-Marxis memiliki pandangan
yang jauh lebih terbuka mengenai potensi revolusioner kelompok-kelompok lain, misalnya
petani.
• Kubu Marxis mempertahankan penekanan yang
deterministik pada kondisi-kondisi obyektif Kaum neo-Marxis melihat kemungkinan
memulai sebuah revolusi dengan optimisme yang lebih besar dan menekankan
peranan faktor subyektif.
• Marxisme masih menampakkan jejak-jejak
optimisme pembangunan abad ke-19 dan menganggap konsep kelangkaan sebagai suatu
rekaan borjuis yang bertujuan mengabsahkan ketimpangan ekonomi. Kaum neo-Marxis
mengintegrasikan kesadaran ekologi yang sedang berkembang dengan pandangan
pembangunannya.
3) Dos Santos dan Marini (Dipengaruhi
Neo-Marxisme)
Dos
Santos adalah adalah ekonom yang turut pindah ke Santiago, Chili. Bersama
Marini dia melakukan analisis dan mengenalkan istilah baru terhadap pemikiran
pebanguan ekonomi pada saat itu. Istilah yang dia keluarkan adalah “the new
dependence” sebagai bentuk kritik terhadap kesalahan kebijakan substitusi
impor. Menurut Dos Santos, rakyat Amerika Latin pada dasarnya menjadi bagian
dari system kapitalis dunia. Dari segi sejarah perkembangan, Dos Santos
menganalisis tiga macam bentuk dependensia. Pertama, ketergantungan colonial
yang ditandai oleh monopoli perdagangan yang dilengkapi denfan monopoli tanahm
tambang, dan tenaga kerja di negara jajahan. Kedua, ketergantungan finasial
yang ditandai dengan konsentrasi keuangan di centre dan investasi modal di
negara periphery. Dan ketiga, adalah ketergantungan industri teknologi yang
ditandai dengan munculnya perusahaan multinasional (Fakih, 2003:129). Bagi Dos
Santos, hubungan antara negara dominant dengan negara tergantung merupakan
hubungan yang tidak sederajat, karena pembangunan di negara dominant terjadi
atas biaya yang dibebankan pada negara tergantung (So, 2000:98).
4) Gundre Frank (Penggerak Teori
Dependensia)
Andre
Gundre Frank bergabung dengan lingkaran penganut teori dependensia pada tahun
1960-an, dan dialah yang menjadi motor penggerak perkembangan teori ini.
Karena, dia menjadi terkenal secara internasioal setelah berhasil
menyebarluaskan teori tersebut di kalangan akademis negara-negara berbahasa
Inggris. Analisis Frank menekankan pada penggunaan surplus ekonomi
yang menjadi sebab dari underdevelopment (keterbelakangan). Bagi Frank, system
kapitalis dunia ditandai oleh struktur monopolis-satelite dimana metropolis
mengeksploitasi satellite. Satelite cenderung semakin didominasi oleh
metropolis dan semakin tergantung (Fakih, 2003:130). Bagi Frank, proses
pengambilan surplus ekonomi secara nasional dan global serta terarah dapat
menyebabkan keterbelakangan di negara dunia ketiga. Frank telah memberikan
empat rumusan untuk menguji pembangunan di negara dunia ke tiga, yaitu:
Pertama,
berlawanan dengan perkembangan yang terjadi pada metropolis dunia, yang tidak
memiliki kota satellite sama sekali, pembangunan yang terjadi di metropolis
nasional dan kota-kota yang lebih kecil dibawahnya akan dibatasi oleh status
kesatelitannya. Kedua, negara
satellite akan mengalami pembangunan ekonomi yang pesat apabila ketika mereka
memiliki ubungan dan keterkaitan yang terendah intensitasnya dengan metropolis
di Barat. Ketiga, ketika metropolis bangkit dari krisisnya dan membangun
kembali hubungan perdagangan dan investasinya, yang kemudian mengakibatkan
adanya proses inkoporasi kembali dunia ketiga ke dalam system hubungan kapitalis
internasional, proses industrialisasi yang telah terjadi pada negara-negara
satellite ini akan di tarik dan diekspolitir kembali ke dalam hubungan global
tersebut. Keempat, daerah-daerah paling terbelakang dan paling feudal sekarang
ini adalah daeragh-daerah yang memiliki derajat hubungan dan keterkaitan sangan
dekat dengan metropolis di masa lampau (So, 2000:97).
Esensi Teori Dependensia
Secara garis besar yang dimaksud dengan dependensia adalah suatu keadaan dimana
kepututsan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di negara
berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan
moneter, dibuat oleh individu atau lembaga di luar negara yang bersangkutan
(Nasution, 2002:44).
Secara filosofis, teori dependensia menghendaki untuk meninjau kembali
pengertian pembangunan. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan
sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan
peningkatan produktifitas. Dalam pandangan teori dependensia, pembangunan lebih
tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di
negara dunia ketiga. Oleh karenanya, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan
program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan
program yang dialksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan,
pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang memerlukan bantuan.
Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat
dan membebani mayoritas, menurut teori depensia tidaklah dapat dikatakan
sebagai program pembangunan yang sebenarnya (So, 2000:104).
Setidaknya ada lima asumsi dasar sebagai esensi dari teori dependensi ini,
yaitu:
1)
Keadaaan ketergantungan dilihat
sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia
ketita. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan
ketergantungan di dunia ketiga sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme dari
abad ke 16 sampai sekarang.
2)
Ketergantungan dilihat sebagai
sebagai kondisi yang diakibatkan oleh faktor luar. Sebab terpenting yang
menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada personal kekurangan modal
atau kekurangan tenaga dan semangat berwiraswasta, melainkan terletak pada
diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah
kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawa
terhadap kemandegan pembangunan di Negara dunia ketiga.
3)
Permasalahan ketergantungan lebih
dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus
ekonomi daru negara dunia ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi karena
negara dunia ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
4)
Situasi ketergantungasn merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Di
satu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari dunia ketiga menyebabkan
keterbelakangannya, sementara hal yang sama merupakan salah satu faktor yang
mendorong lajunya pembangunan di negara maju.
5)
Keadaan ketergantungan dilihatnya
sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori
dependensia, pembanguan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit
proses perkembangan dapat saja terjadi di negara pinggiran ketika misalnya
sedang terhadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Dalam pandangan teori
dependensia, pembanguna yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan
tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi perpindahan surplus
ekonomi ke negara maju (So, 2000:103).
Jenis-jenis
Pendekatan Ketergantungan
Mengingat asal-usul intelektual yang kompleks
dari gagasan ketergantungan, termasuk Marxisme (atau lebih tepatnya Marxisme-Leninisme),
neo-Marxisme dan strukturalisme Amerika Latin, tentu saja ada beberapa
konseptualisasi yang bisa dipilih. Semua pendekatan tersebut berbeda dalam
gaya, penekanan, orientasi disiplin, dan preferensi ideologis, namun mereka
sama-sama memiliki gagasan dasar mengenai pembangunan dan keterbelakangan
sebagai proses yang saling terkait. Perspektif ini, yang benar-benar keluar
dari paradigma modernisasi, cukup jelas dalam definisi yang dibuat oleh Dos
Santos berikut ini.
Ketergantungan merupakan situasi "yang
mengkondisikan", yang di dalamnya ekonomi sekelompok negara ditentukan
oleh pembangunan dan perkembangan kelompok lain. Hubungan saling ketergantungan
antara dua atau lebih sistem perekonomian, atau antara perekonomian itu dan
sistem perdagangan dunia, menjadi hubungan ketergantungan bila beberapa negara
dapat berkembang hanya sebagal bayangan perkembangan negara dominan, yang
mungkin memiliki pengaruh positif atau negatif pada pembangunan mereka
berikutnya. (Dos Santos, dikutip Hettne, 2001:157)
Cardoso membandingkan posisi ini dengan
narodniks Rusia, yang menyatakan bahwa kapitalisme di akhir abad ke-19
merupakan hal yang mustahil karena pasar dalarn negeri yang terbatas.
Bertolak-belakang dengan posisi ini, Lenin berpendapat bahwa pernbangunan kapitalis
merupakan proses yang kontradiktif, ditandai dengan ketegangan sosial dan
perusakan. Namun, ini tidak mernbuat kapitalisme mustahil di Rusia. Menurut
Cardoso, pun pernbangunan kapitalis (kendati dalam bentuk yang bergantung)
bukan hal yang mustahil di Arnerika Latin.
Selanjutnya
Hettne memberikan beberapa jenis pendekatan dependensia yang ia simpulkan dari
beberapa tokoh penggagas teori dependensia yang sudah disingung di atas.
Pendekatan-pendekatan itu adalah:
Holisme
versus partikularisme. Pada dimensi ini, dipertentangkan dua kubu
pemikiran: mereka yang bekerja dengan model
global, dinamika yang ditentukan oleh sistem keseluruhan; dan mereka yang
membangun perspektif menyeluruh mulai dari unsur pembentuknya. Misalnya, model
kapitalisme transnasional Sunkel memiliki ambisi holistik, sedangkan pandangan
Cardoso mengenai ketergantungan sebagai sebuah metode analisis konkret bagi
kawasan pinggiran lebih bersifat partikularistik.
Faktor
kausal eksternal versus faktor kausal internal.
Kenyataan bahwa keduanya sulit dibedakan, bukan merupakan persoalan kita di
sini. Persoalannya adalah, faktor manakah yang lebih penting? Tentu saja,
dependentista tidak akan mengaku bahwa mereka mengabaikan faktor internal,
namun demikian seluruh pendekatan mereka memiliki bias eksternalis (seperti
digambarkan oleh model metropolis-satelit Frank). Bagaimanapun, hal ini
merupakan keberatan utama terhadap teori modernisasi.
Analisis
sosial-politik versus analisis ekonomi. Beberapa ilmuwan bekerja secara eksklusif
dengan analisis ekonomi; yang lain menekankan kondisi sosial dan politik.
Kendati hal ini dapat dijelaskan berdasarkan asal usul ilmu, namun perbedaannya
penting untuk model analisis. Pada dasarnya tradisi CEPAL lebih ekonomistis,
sedangkan banyak dependentista, seperti yang dicatat di atas, berasal dari ilmu
sosial lainnya, misalkan sosiologi.
Kontradiksi
sektoral regional versus kontradiksi kelas. Beberapa penulis
menekankan kenyataan bahwa polarisasi regional atau sektoral terjadi dalam
sistem yang menyeluruh, baik pada tingkat internasional maupun tingkat
nasional; yang lainnya mendasarkan analisis mereka pada. asumsi bahwa konflik
yang mendasar niscaya ditemukan dalam pertentangan kelas. Dengan kata
lain, pandangan kedua mencari dinamika di dalam perjuangan kelas. Misalnya,
dalam model dualisme globalnya, Sunkel menekankan pernilahan antara kawasan
marjinal dan pusat transnasional (bagian kawasan pusat yang menyatukan, bagian
dari pinggiran). Pemilahan ini menembus kelas-kelas, dengan demikian menentang
kesadaran kelas dan perjuangan kelas. Sebaliknya, Cardoso lebih memberikan
penekanan pada kelas, namun analisisnya cukup tajam, jauh melampaui dikotomi
sederhana majikan buruh dan posisi resmi komunis. Namun, secara keseluruhan,
sangat sedikit analisis kelas pada hampir semua tulisan aliran ketergantungan.
Keterbelakangan
versus pembangunan yang tergantung. Argumen utama aliran ketergantungan adalah
bahwa situasi ketergantungan menghasilkan proses keterbelakangan. Namun,
sebagian mengambil sikap yang lebih berhati-hati, dengan mengklaim bahwa
kecenderungan stagnasi merupakan persoalan yang berulang, dan bahwa pembangunan
kapitalisme sepenuhnya sesuai dengan posisi ketergantungan. Posisi
ketergantungan yang kuat dirumuskan oleh Frank dengan ungkapan
"pembangunan keterbelakangan” (development
of underdevelopment). Posisi yang lebih berhati-hati adalah gagasan Cordoso
tentang "pembangunan yang terkait dan tergantung" (associated-dependent development).
Voluntarisme
versus determinisme. Mayoritas besar ilmuwan ketergantungan
beranggapan bahwa secara politis penelitian mereka relevan. Namun, dapat
dibedakan antara mereka yang menganggap perangkat politik dibatasi oleh situasi
obyektif, dan mereka yang menekankan kemungkinan mengatasi batasan ini melalui
aksi politik langsung. Sikap yang terakhir jelas terkait dengan gagasan bahwa
Amerika Latin (dan Dunia Ketiga) ditakdirkan terbelakang dan bahwa aktivitas
politik merupakan satu-satunya jawaban atas situasi tersebut. Aktivisme ini
mengambil bentuk perjuangan gerilya dan modelnya diambil dari revolusi Kuba.
Akibatnya, mereka yang mengakui adanya kemungkinan pembangunan, kendati
mengikuti jalur kapitalis, mengambil posisi di tengah-tengah antara cara
pandang komunis resmi dan voluntaris ekstrem.
No comments:
Post a Comment